Kenapa Orang Terobsesi Menjadi Pintar?

Kenapa Orang Terobsesi Menjadi Pintar?

Tulisan ini mengupas alasan psikologis di balik obsesi menjadi pintar, yang sering kali berakar pada mekanisme pertahanan diri dan kebutuhan akan pengakuan eksternal.

Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa ada orang yang sepertinya punya dorongan luar biasa untuk selalu jadi yang paling pintar, atau setidaknya terlihat pintar? Dorongan ini sering kali bukanlah sekadar keinginan tulus untuk belajar. Bagi mereka, ini lebih terasa seperti dahaga yang tidak pernah bisa hilang. Harga diri mereka seakan-akan dipertaruhkan pada seberapa cepat otak mereka bekerja, seberapa banyak fakta yang mereka kuasai, atau seberapa hebat ide yang mereka lontarkan. Mereka baru merasa “bernilai” jika sudah punya segudang prestasi atau selalu menang debat.

Namun, tulisan ini sama sekali bukan untuk menghakimi. Justru, ini adalah ajakan untuk berempati dan melihat fenomena ini dari sudut pandang yang berbeda. Kita sering kali mengambil jalan pintas dengan melabeli seseorang “sombong” atau “pamer” hanya dari apa yang terlihat. Padahal, jika kita mau berhenti sejenak, mungkin kita akan bertanya, mengapa mereka seperti itu? Apakah murni karena angkuh, atau jangan-jangan, ada sebuah kerapuhan yang sedang mati-matian mereka tutupi?

Agar tidak keliru menghakimi, mari kita coba selami alasannya dari kacamata psikologi.

1. Kepintaran sebagai Perisai Diri

Coba bayangkan hidup ini seperti hutan lebat yang tak terduga. Bagi sebagian orang, ilmu pengetahuan dan kecerdasan menjadi obor, peta, sekaligus perisai untuk menghadapi hutan itu. Ada sebuah keyakinan di dalam diri mereka, bahwa semakin banyak mereka tahu, semakin mereka bisa mengendalikan ketidakpastian hidup dan menaklukkan rasa takut.

Sikap ini pada dasarnya adalah usaha untuk memegang kendali. Mungkin saja, di masa lalu mereka pernah berada di posisi tak berdaya, merasa kecil, dan diremehkan. Obsesi untuk menjadi pintar kemudian lahir sebagai respons, sebuah janji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah lagi merasakan ketidakberdayaan itu. Tanpa sadar, selama bertahun-tahun kebiasaan ini membentuk sebuah mekanisme pertahanan. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai kompensasi, yaitu upaya menutupi satu kelemahan dengan keunggulan di bidang lain.

Ada pula mekanisme lain yang disebut intelektualisasi. Ketika hati sedang sakit atau emosi bergejolak, pikiran bisa mencari cara cerdas untuk melarikan diri. Caranya adalah dengan menenggelamkan diri dalam analisis, data, teori, dan logika. Semua perasaan sedih dan gelisah itu seolah didorong ke sudut ruangan, lalu digantikan oleh hiruk pikuk aktivitas otak. Mirip seperti orang yang bekerja gila-gilaan untuk melupakan patah hati, tapi ini terjadi di dalam pikiran.

2. Cermin Narsisme: Haus Pengakuan dari Luar

Di sinilah kita perlu menyentuh sisi narsisme. Bukan narsisme dalam arti dangkal seperti gemar pamer di media sosial, tapi tentang bagaimana cara seseorang membangun harga dirinya.

Pernahkah Anda melihat ada orang yang hidup dengan prinsip, “Aku harus pintar supaya dihargai,” atau “Kalau aku tidak lebih pintar dari yang lain, aku bukan siapa-siapa”? Perasaan inilah yang menjadi inti dari narsisme yang bersifat kompensatoris. Bisa jadi, masa kecilnya dipenuhi oleh kasih sayang bersyarat. Pujian dan perhatian hanya datang ketika ia berhasil meraih sesuatu yang membanggakan secara intelektual.

Akibatnya, otaknya merekam sebuah rumus sederhana: Pintar = Dicintai dan Diterima. Obsesi pada kepintaran pun berubah fungsi menjadi cermin raksasa. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk terus memantulkan pujian dari orang lain sebagai bukti bahwa dirinya berharga. Namun, di balik itu ada kekosongan jiwa yang tak pernah terisi penuh, layaknya sebuah wadah yang bocor dan butuh terus diisi pengakuan dari luar.

Jadi, Apa Sebenarnya yang Sedang Dicari?

Jika kita simpulkan, obsesi untuk menjadi pintar sering kali bukanlah murni tentang cinta pada ilmu. Ia lebih merupakan cara alamiah untuk melindungi diri, sebuah pencarian tanpa henti akan pengakuan, atau benteng kokoh untuk menghindari luka batin. Ini adalah kondisi di mana pikiran, yang seharusnya menjadi teman, justru berubah menjadi hakim yang paling kejam.

Pertanyaan yang lebih dalam bukanlah tentang seberapa tinggi capaian akademis seseorang. Pertanyaannya adalah: Apa yang sesungguhnya dicari oleh jiwa di balik semua upaya itu? Apakah rasa aman yang dulu hilang? Apakah penerimaan yang tulus tanpa syarat? Atau sekadar izin untuk menjadi diri sendiri, tanpa perlu terus-menerus membuktikan sesuatu kepada dunia?

Ketika seseorang mulai berani menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu, fondasi harga diri yang rapuh bisa mulai ia bangun kembali menjadi lebih kokoh. Sebuah fondasi yang tidak akan runtuh hanya karena ada orang yang lebih pintar atau karena satu kegagalan.

Sebab, nilai sejati seorang manusia tidak terletak pada apa yang ia tahu. Nilai itu terletak pada keberaniannya untuk jujur pada diri sendiri, terutama mengakui kerapuhan dan menerima segalanya dengan lapang dada..

Saujana Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Archieved